PARTUTURON DALAM MASYARAKAT
PARTUTURON DALAM MASYARAKAT
Disusun Oleh
Nama Nim
Syahlawani Siregar 1720400034
DOSEN PENGAMPU
Dr. Zainal Efendi Hsb, M.A.
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANG SIDIMPUAN
T. A. 2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul " Partuturon Dalam Masyarakat " dengan sebaik-baiknya. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah memuliakan derajat kaum perempuan sejajar dengan kaum laki-laki (kesetaraan gender).
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti mata kuliah. Dengan kerendahan hati semoga apa yang tertulis dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Sangat disadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik yang kontruktif sangat diharapkan dari para sahabat dan sahabati demi terciptanya suatu pembangunan peradaban Islam.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I: PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan Masalah 1
BAB II: PEMBAHASAN 2
Pengertian partuturon 2
Fungsi partuturon dalam bermasyarakat 3
Pandangan Islam terhadap partuturon 6
BAB III: PENUTUP 8
Kesimpulan 8
DAFTAR PUSTAKA 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia selain memiliki wilayah yang luas dan penduduk yang sangat banyak, juga mempunyai puluhan bahkan ratusan adat budaya. Dari adat budaya Batak, adat budaya Jawa, adat budaya Bugis, adat budaya Melayu, adat budaya Minang dan masih banyak lagi yang lainnya. Salah satu diantara adat budaya Indonesia yang memiliki banyak kekhasan adalah adat budaya Batak Toba Sumatera Utara. Kekhasan itu bisa dilihat dari sejarahnya, upacara perkawinan, bagaimana bentuk sistem kekerabatan (partuturan), cara mereka bersosialisasi dengan masyarakat suku lain serta falsafah hidup mereka. Masyarakat Batak Toba memiliki falsafah hidup yang selalu dilaksanakan dalam setiap aktivitas kemasyarakatan, seperti dalam aktivitas perkawinan, upacara kematian, pemahaman mengenai partuturannya, upacara menempati rumah yang baru dan sebagainya, yang sangat menarik untuk dikaji terutama bagi masyarakat di luar etnis Batak. Mengenal kebiasaan adat suku suku lain dan memahami dengan benar makna serta tujuannya, dapat menumbuhkan rasa toleransi dan simpati terhadap kebudayaan suku-suku lain tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian partuturon?
2. Bagaimana fungsi partuturon dalam bermasyarakat?
3. Bagaimana pandangan Islam terhadap partuturon?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pengertian partuturon
2. Untuk mengetahui fungsi partuturon dalam bermasyarakat
3. Untuk mengenal pandangan Islam terhadap partuturon
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Partuturon
Dalam kehidupan orang Batak sehari-hari, kekerabatan (partuturon ) adalah kunci pelaksanaan dari falsafah hidupnya. Bagi orang Batak, partuturon adalah sangat penting, karena dari partuturon kita tahu hubungan kekerabatan kita satu sama lain dan menentukan bagaimana kita menyapa lawan bicara kita. Dalam upacara adat, partuturon adalah dasar untuk mengetahui posisi kita, yaitu unsur mana kita dalam dalihan na tolu. Pada suatu saat kita bisa Dongan Tubu, di saat lain menjadi Boru dan di lain kesempatan menjadi Hula-hula.
Budaya Batak Toba sangat kaya akan istilah hubungan kekerabatan (partuturon), sehingga bagi mereka yang tidak mempelajarinya atau menerapkan sejak kecil akan sulit menggunakannya dengan benar. Banyak orang Batak yang tidak begitu faham mengenai hubungan kekerabatan (partuturon), terutama mereka yang lahir dan besar di perantauan.
Apabila kita salah dalam menyapa kerabat kita, maka bisa terjadi orang yang disapa tersebut menjadi tersinggung, karena merasa kurang dihargai pada posisinya yang sebenarnya. Juga partuturon ini sangat menentukan dalam pembagian jambar dalam acara adat. Oleh karena itu kita masyarakat Batak wajib memahami hubungan kekerabatan atau yang dalam bahasa Batak disebut Partuturon.
Konsep dalihan natolu bertujuan membentuk sistem kekerabatan yang patuh kepada adat, meskipun pada saat yang bersamaan masyarakat Batak belum memeluk agama secara khusus sebagai panutan. Nilai-nilai etika tumbuh secara naluriah dan memutuskan larangan perkawinan terhadap saudara sedarah dan ibu kandung. Peraturan yang berupa anjuran dan larangan dibungkus dalam satu kemasan yang disebut adat. Peraturan ini terus menjalar, berkembang, dan mendarah daging secara turun temurun kepada keturunan Batak sampai sekarang. Suku Batak yang menikahi wanita satu marga disebut naso maradat (tidak beradat), dan hukuman terberat diusir dari kampung adat dan tidak dilibatkan dalam segala hal yang berhubungan dengan upacara adat, seperti pesta adat perkawinan. Konsep perkawinan semarga pada sebagian masyarakat Batak muslim sudah mulai bergeser, hal ini disebabkan karena pengaruh agama.
B. Fungsi Partuturon Dalam Bermasyarakat
Sebagai anggota masyarakat yang berlandaskan holong (sayang) maka masyarakat hukum adat angkola mempunyai susunan masyarakat yang didasarkan kepada Dalihan Na Tolu secara etimologi berarti tungku yang tiga. Tungku artinya tempat (landasan) menjerangkan periuk ke atas api pada waktu memasak. Tungku itu harus disusun sedemikian rupa sehingga periuknya dapat bertumpu dengan kuat dan kecil kemungkinan akan jatuh. Dalam hukum adat angkola, Dalihan Na Tolu mengandung arti bahwa orang angkola menganut sistem kekerabatan yang tergabung dalam suatu struktur Dalihan Na Tolu yang terdiri dari kahanggi, anak boru dan mora.
Pertama, kahangi adalah salah satu kelompok kerabat satu marga. Kedua, pihak mora memiliki kedudukan yang terhormat dalam bermasyarakat Batak Angkola, itulah yang disebut sorum marmora, yang ditunjukkan dengan sikap, perkataan dan perbuatan. Dan anak boru tidak akan berani melawan moranya karena diyakini perbuatan itu akan dikutuk oleh sahala hula-hula, sehingga dia tidak akan memperoleh keturunan, sengsara, jatuh sakit, panen gagal, kemalangan dan sebagainya.
Dalam masyarakat adat angkola sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu terdiri dari:
Kahanggi yaitu golongan yang merupakan teman semarga atau teman serumpun menurut golongan marga.
Anak boru yaitu golongan yang diberi boru (perempuan)
Mora yaitu pihak yang memberi boru. Suku bangsa memiliki falsafah hidup yang memiliki makna penting. Falsafah hidup masyarakat Batak yang paling tinggi adalah falsafah Dalihan Na Tolu yang disebut juga “Tungku Nan Tiga” yang selanjutnya akan disingkat dengan DNT adalah suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak. Di dalam Dalihan Na Tolu, terdapat tiga unsur hubungan kekeluargaan yang perlu kita ketahui melalui sebuah Partuturan. Ketiga unsur hubungan kekeluargaan itu adalah Dongan Tubu (teman semarga), Hula-hula (keluarga dari pihak Istri), dan Boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki kita). Dalihan Na Tolu berfungsi menentukan tentang kedudukan, hak dan kewajiban seseorang atau kelompok (komunitas) orang atau mengatur dan mengendalikan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam kehidupan adat bermasyarakat. Selain itu juga berfungsi sebagai dasar dalam bermusyawarah dan mufakat Masyarakat Batak Toba.
Kepemilikan marga dibelakang nama menjadi sesuatu hal yang penting ketika sesama masyarakat Batak bertemu dan mereka saling menanyakan marga terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengetahui sistem tutur poda (sebutan/panggilan). Melalui sistem tutur poda setiap orang secara langsung mengetahui hubungan kekerabatan dan silsilah seorang dengan yang lainnya, tanpa harus bertanya atau menelusuri secara sengaja tentang hubungan keturunan dan kekerabatannya. Misalnya jika ada seseorang perempuan memanggil orang lain dengan tutur “amang boru (sebutan untuk laki-laki)
Namboru (sebutan untuk perempuan)”, maka secara otomatis masyarakat akan mengerti bahwa orang yang memanggil tutur “amang boru atau namboru” tadi, berkedudukan sebagai taraf menantu (maen), yakni anak dari kakak atau adik perempuan dari ayah, baik kandung maupun tidak. Sedangkan orang yang dipanggil “amang boru atau namboru” tadi, memiliki kedudukan sebagai adik atau kakak perempuan dengan suaminya, baik kandung maupun tidak.
Tutur semacam ini, si “maen” akan bisa dan sah secara adat untuk menikah dengan anak namborunya. Sebab menurut pandangan adat bahwa silsilah darah antara maen dengan namborunya adalah hubungan yang bertalian dengan ibunya. Tutur poda memunculkan suatu solidaritas marga atau antar marga yang di dalam maupun di luar kampung halaman tetap kuat terlihat dengan adanya punguan (perkumpulan), perkumpulan marga dohot boruna (laki-laki dan perempuan), dan perkumpulan huta (asal/ kampung) yang anggotanya terdiri dari berbagai marga. Solidaritas marga yang kuat hingga saat ini terlihat dari pada suku bangsa Batak Toba dan sudah cukup dikenal secara luas. Selain untuk mengetahui tutur poda, marga juga memiliki pengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat Batak didalamnya, ada norma-norma yang harus dipatuhi dan diikuti. Partuturan (tata krama) marga, termasuk hal penting yang diatur dalam norma tersebut. Pada prinsip dasarnya interaksi yang terjadi antara masyarakat batak toba dimulai dari partuturan marga yang masih sangat melekat dalam tradisi kebudayaan batak toba. Karena mulai dari asal mula suku batak toba sudah memelihara partuturan marga tersebut dan bisa dijadikan sebagai hukum adat batak.
Hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis, namun hidup, tumbuh, dan berkembang pada masyarakat. Hukum adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa dan merupakan identitas jiwa bangsa yang bersangkutan dari waktu ke waktu. Dalam negara Republik Indonesia, adat yang dimiliki oleh masyarakat pada setiap daerah berbeda-beda. Adat istiadat tersebut tidak pernah mati, melainkan tetap hidup dan berkembang dari masa ke masa. Bagi orang batak, adat bukan hanya sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial, melainkan sesuatu yang mencakup seluruh dimensi kehidupan jasmani dan rohani, pada masa kini dan masa depan, hubungan dengan sesama maupun dengan “Sang Pencipta”.
Dalam kehidupan berkomunikasi sehari-hari di dalam masyarakat Mandailing rasa kekeluargaan dan keakraban diucapkan lewat partuturan. Partuturan biasanya berdasarkan hubungan darah dan perkawinan serta kekerabatan. Partuturan yang berlaku dalam masyarakat Mandailing diciptakan oleh nenek moyangnya sebagai sistem tutur sapaan yang dipergunakan dalam berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari orang Mandailing.
C. Pandangan Islam Terhadap Partuturon
Masyarakat batak muslim di Kab. Padang Lawas Utara memiliki aturan khusus tentang pernikahan. Walau hukum Islam membolehkan dilangsungkannya pernikahan yang telah memenuhi syarat dan rukun, namun bagi masyarakat batak muslim di Kab. Padang Lawas Utara belum tentu pernikahan dapat dilakukan. Dalam adat mereka ada aturan-aturan tertentu yang harus diikuti. Apabila aturan tersebut diabaikan maka akan memunculkan konsekwensi hukum. Aturan ini telah dianut oleh masyarakat batak muslim di Kab. Padang Lawas utara sejak dahulu hingga sekarang. Adapun bentuk hukumannya adalah dibuang atau diusir dari kampung serta dicoret dari tatanan silsilah keluarga. Faktor Penyebab Larangan Pernikahan Adat Masyarakat Batak Muslim di Kab. Padang Lawas Uatara
1. Faktor Namarpandan
Namarpandan atau ikrar janji yang sudah ditetapkan oleh marga-marga tertentu. Di mana antara laki-laki dan perempuan tidak dapat saling menikah dengan orang yang satu marga. Semua marga yang sudah ditentukan tidak dibenarkan untuk menikah. Ini karena kepercayaan orang-orang terdahulu yang mengadakan perjanjian tersebut bahwa orang yang menikah dengan marga-marga yang sudah ditentukan akan mendatang murka roh para leluhur. Dalam keyakinan mereka, roh para leluhur tersebut tidak hanya akan memberikan kerugian kedua belah pihak, akan tetapi juga akan membawa kerugian kepada kelompok masyarakat tempat mereka berdomisili. Inilah sebabnya mereka dilarang untuk saling menikahi.
2. Faktor Namarito
Namarito atau bersaudara antara laki-laki dan perempuan khususnya mereka yang semarga sangat dilarang untuk saling menikahi.
3. Dua Punggu Sada Ihotan
Dua punggu sada ihotan artinya adalah tidak dibenarkan melangsungkan pernikahan antara saudara abang atau adik laki-laki marga A dengan saudara kakak atau adik perempuan isteri dari marga B tersebut. Dengan kata lain, kakak beradik laki-laki memiliki isteri yang bersaudara kandung atau dua orang kakak beradik kandung memilki mertua yang sama.
4. Boru ni Amaniba
Boru ni amaniba adalah saudara perempuan kandung. Menikahi perempuan semarga saja sudah sangat dilarang dalam adat batak apalagi saudara kandung. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Pernikahan Dalam Adat Masyarakat Batak Muslim di Kab. Padang Lawas Utara. Apabila ditinjau dari segi perundangan hukum Islam, larangan pernikahan dalam adat masyarakat batak muslim di Kab. Padang Lawas Utara ada yang betentangan dengan hukum Islam dan ada pula yang sesuai. Yang bertentangan dari model pernikahan tersebut adalah namarpandan, dua punggu sada ihotan, namarito dan marboru namboru. Sedangkan model yang terakhir (boru ni amaniba) sesuai dengan hukum Islam sebagaimana dijelaskan dalam Surah al-Nisa’ ayat ke-24.
Larangan pernikahan dalam hal namarpandan dan semua kategorinya adalah bertentangan dengan hukum Islam apalagi dengan sanksi dan adanya ancaman malapetaka dari roh para laluhur. Tentu keyakinan seperti ini termasuk ke dalam kategori khurafat yang sangat di larang dalam Islam.
Sedangkan larangan pernikahan dalam hal namarito atau bersaudara, di satu sisi terdapat kesesuaian dengan hukum Islam. Namun dalam masalah marga yang dinyatakan sama tidak dapat diterima dalam Islam. Ini karena wanita yang sudah di luar jalur mahram menurut hukum Islam boleh dinikahi. Seterusnya, dalam hal dua punggu sada ihotan bertentangan dengan hukum Islam. Karena dalam Islam dua orang yang bersaudara kandung boleh menikahi perempuan yang kakak beradik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam kehidupan orang Batak sehari-hari, kekerabatan (partuturon ) adalah kunci pelaksanaan dari falsafah hidupnya. Bagi orang Batak, partuturon adalah sangat penting, karena dari partuturon kita tahu hubungan kekerabatan kita satu sama lain dan menentukan bagaimana kita menyapa lawan bicara kita.
Dalihan Na Tolu berfungsi menentukan tentang kedudukan, hak dan kewajiban seseorang atau kelompok (komunitas) orang atau mengatur dan mengendalikan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam kehidupan adat bermasyarakat.
Larangan pernikahan dalam hal namarpandan dan semua kategorinya adalah bertentangan dengan hukum Islam apalagi dengan sanksi dan adanya ancaman malapetaka dari roh para laluhur. Tentu keyakinan seperti ini termasuk ke dalam kategori khurafat yang sangat di larang dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
https://sitorusdori.wordpress.com/2009/05/14/pangantusion-tu-partuturon/, diakses tanggal 11 Oktober 2020 pukul: 12.05 WIB.
https://www.tabagsel.id/bagian-2-moderasi-dan-harmoni-beragama-dalam-surat-tumbaga-holing-batak-angkola/, diakses pada tanggal 9 Januari 2021 pukul: 9. 28 WIB.
https://www.tabagsel.id/moderasi-dan-harmoni-beragama-dalam-surat-tumbaga-holing-batak-angkola/, diakses pada tanggal 9 Januari 2021 pukul: 9. 37 WIB.
Hermanto Naibaho, Sistem Kekerabatan ( Partuturan ) Marga Batak Toba Pada Komunitas Mahasiswa Batak Toba Di Pekanbaru, “Jom Fisip”, Vol. 6: Edisi II Juli – Desember 2019.
https://www.mandailingonline.com/partuturan-di-dalam-masyarakat-mandailing/, diakses tanggal 10 Oktober 2020 pukul: 10.43 WIB.
Parlindungan Simbolon, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pernikahan Adat Masyarakat Batak Muslim di Kab. Padang Lawas Utara Sumatera Utara, “Jurnal Al-Himayah” Volume 1 Nomor 2 Oktober 2017. Rosliana lubis, partuturon dalam masyrakat angkola, “jurnal ilmiah bahasa dan sastra”, volume II no. 1 April tahun 2006.
Sumper Mulia Harahap, Islam Dan Budaya Lokal Studi terhadap Pemahaman, Keyakinan, dan Praktik Keberagamaan Masyarakat Batak Angkola di Padangsidimpuan Perspektif Antropologi, “TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama” Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015.
Komentar
Posting Komentar